"HIDUP jemaah manakib!" seru KH Junaedi Al-Baghdadi, sang kiai, dari atas panggung beberapa saat sebelum memulai tausiah dan memimpin zikir manakib Syeikh Abdul Qodir Al-Jaelani RA.
Tak berapa lama ribuan orang yang memadati halaman Pondok Pesantren (Ponpes) Al Baghdadi yang dipimpin kiai muda nan nyentrik yang berada di Dusun Kelor, Desa Amansari, Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, itu pun bergema dengan suara tepukan tangan dari jemaah. Terdengar seperti tepuk pramuka tapi agak berbeda, lalu diakhiri mengangkat kedua kepalan tangan dengan kedua jempol diangkat tinggi-tinggi sambil serentak berseru, "Luar biasa, luar biasa!"
"Hidup Bang Deddy Dores!" ujar sang kiai tiba-tiba saja lewat pengeras suara. Lagi-lagi serempak jemaah bertepuk tangan berirama yang diakhiri dengan teriakan, "Luar biasa, luar biasa!"
Sabtu malam pekan lalu, musisi yang banyak mengorbitkan sejumlah penyanyi di tanah air, Deddy Dores, memang hadir di antara jemaah manakib dan didaulat duduk di panggung tak jauh dari tempat duduk sang kiai bersama para tetamu lainnya.
Tampak juga Wali Kota Tegal Ikmal Jaya, Ketua Umum Satria Hanura Abdul Azis, pengamat sosial Prof Kusna, komedian Memet yang belakangan aktif menjadi penceramah, dan sejumlah ustaz, kiai, serta tamu-tamu istimewa lainnya dari berbagai wilayah yang sengaja datang mengikuti majelis zikir manakib.
Kesan rock n roll pertama yang ada pada diri Abah, sapaan KH Junaedi Al-Baghdadi, sebelum mengikuti majelis zikir manakib, diawali saat tiba di ponpes miliknya pekan lalu.
Abah saat itu mengenakan topi laken cokelat seperti koboi, kaus warna cokelat lengan pendek dilapis jaket tanpa lengan yang bersaku banyak, dipadu celana jins cokelat tua. Ia juga memakai sepatu kets cokelat. Tak ada wangi dupa atau minyak wangi Arab atau Timur Tengah. Malah terkesan bau keringat orang yang kepanasan biasa saja seperti tetamu yang hari itu berdatangan di tengah teriknya matahari.
"Sudah, sudah. Jangan mendekat, biar saya saja yang mendekat. Kalian diam saja," kata kiai berusia menjelang 40 tahun itu kepada jemaah yang berebut bersalaman dan mencium tangannya.
Ia berjalan sambil tersenyum dan menyalami jemaah satu per satu, mulai pintu pendopo hingga gerbang halaman pondok pesantren yang jaraknya sekitar 100 meter. Sekitar satu jam, acara salam-salaman itu berlangsung.
Di tengah-tengah kekhusyukan zikir, dengan tenang Abah memanggil dan mempersilakan satu per satu tamu yang ada di atas panggung dan duduk bersamanya saat itu. Termasuk Deddy Dores, yang sempat didaulat untuk berbicara kepada jemaahnya saat itu.
Saat menyuruh Deddy Dores dan beberapa tamu yang mengikuti majelis zikirnya untuk berbicara di depan jemaah, Abah dengan cuek-nya duduk bersila di tengah-tengah para tamu.
Padahal, saat itu dia tengah memimpin majelis zikir. Sebelum mempersilakan tamu bicara di depan mikrofon, Abah mengatakan kepada jemaahnya bahwa ulama itu harus mau berbagi dan jangan egois, mau enak atau menang sendiri. Waktu yang tepat untuk berbagi adalah saat tausiah atau sebuah majelis zikir itu berlangsung.
"Saya sering melintas di depan ponpes ini. Lama-lama tertarik. Dan saat ada majelis zikir minggu ini, salah seorang teman saya ngajak. Saya enggak mikir-mikir lagi. Sudah penasaran sejak lama ingin tahu ponpes ini. Ya, sekarang baru pertama ini ikut majelis zikir," kata Deddy Dores.
Salah satu yang menarik dari kiai rock n roll dari Rengasdengklok ini adalah penampilannya yang nyentrik. Malam itu, Abah mengenakan jubah perak menyala dengan corak totol-totol hitam. Ya, tampak seperti macan tutul begitu mengilap, lengkap dengan pembungkus kepalanya.
Begitu tiba di panggung, yang tak kalah megah dan spektakulernya dengan panggung sebuah konser yang sudah dipenuhi puluhan orang yang biasanya tamu-tamu istimewa Abah, dia mengatakan kostum yang dipakainya saat itu memang baru. Lalu dengan mengibas-ngibaskan bagian pinggir jubahnya ia coba memamerkannya. Ia pun tergelak sambil geleng-geleng kepala. Ia mengaku tak tahu juga kenapa malam itu berpenampilan seperti itu yang disambut tawa hadirin.
"Kayak penyanyi dangdut, ya!" katanya.
Ia jauh dari kesan jaim seorang ulama besar atau kiai di hadapan jemaahnya. Namun kesederhanaannya sebagai seorang kiai tak kalah dengan ulama-ulama lainnya di tanah air.
Jemaah yang memadati halaman rumah sekaligus Ponpes Al Baghdadi itu tidak hanya warga Rengasdengklok, tapi berbagai penjuru negeri. Di buku catatan pengasuh atau penjaga ponpes, tertulis jemaah yang datang berasal dari Bali, Brebes, Bangka Belitung, Lampung, bahkan dari Makassar pun ada.
"Saya sudah tujuh tahun jadi jemaahnya Abah. Waktu dulu tempatnya masih di Cibitung, Bekasi. Saya dari Brebes. Sejak Jumat saya di sini," ujar Mujib (42).
Jemaah dari berbagai daerah ini rela menginap untuk bisa sekadar mengikuti majelis zikir tersebut. Mereka tidak merasa khawatir karena semua, terutama makan, disediakan gratis oleh pengelola ponpes.
Zikir manakib bukanlah pembacaan biografi Syeikh Abdul Qodir Al-Jaelani RA, melainkan membaca zikir atau amalan tertentu. Jemaah juga diajak untuk bertawasul dan mencintai Syeikh AQJ sambil mengharapkan berkah dan karamahnya. Juga mengharapkan syafaat Rasullullah saw, serta memohon rida dan izin Allah swt.
Beragam masalah yang membuat seseorang mengikuti majelis zikir ini, antara lain menderita penyakit menahun, terjerat utang, pengangguran, problem keluarga, sampai kepada keinginan untuk menjadi kepala daerah. Ada juga yang datang dengan tujuan khusus untuk beribadah dan ingin lebih mendekatkan diri kepada Tuhan.
Abah sendiri tidak membedakan status atau problematika yang dihadapi jemaah. Secara bersama-sama, jemaah diajak berzikir dan berdoa.
Comments
Post a Comment